Assalamu'alaikum Wr.Wb
Apakabar sahabat IPS?
Semoga kalian tetap semangat belajar IPS
Bagi kalian kelas 9 yang mau menghadapi Penilaian Akhir Semester (PAS) Berikut ini Latihan soal yang dapat kalian kerjakan....
Selamat Mencoba!
Assalamu'alaikum Wr.Wb
Apakabar sahabat IPS?
Semoga kalian tetap semangat belajar IPS
Bagi kalian kelas 9 yang mau menghadapi Penilaian Akhir Semester (PAS) Berikut ini Latihan soal yang dapat kalian kerjakan....
Selamat Mencoba!
Assalamu'alaikum Wr.Wb
Apakabar sahabat IPS?
Semoga kalian tetap semangat belajar IPS
Bagi kalian kelas 8 yang mau menghadapi Penilaian Akhir Semester (PAS) Berikut ini Latihan soal yang dapat kalian kerjakan....
Selamat Mencoba!
Assalamu'alaikum Wr.Wb
Apakabar sahabat IPS?
Semoga kalian tetap semangat belajar IPS
Bagi kalian kelas 7 yang mau menghadapi Penilaian Akhir Semester (PAS) Berikut ini Latihan soal yang dapat kalian kerjakan....
Selamat Mencoba!
KONEKSI ANTAR MATERI
MODUL 3.3.a.9
PENGELOLAAN PROGRAM YANG BERDAMPAK PADA MURID
Hal yang menarik yang dapat saya tarik dari
pembelajaran modul pengelolaan program yang berdampak pada murid adalah
pertama, ketika saya menyaksikan video tentang bentuk-bentuk program yang
berdampak pada murid saya menjadi berpikir kembali apakah program yang selama
ini dilaksanakan di sekolah sudah berdampak pada murid atau belum. Saya merasa
bahwa program-program yang sudah ada selama ini belum mengoptimalkan semua aset
yang ada di sekolah maupun di daerah. Dari video saya juga belajar bahwa dengan
kolaborasi antara guru, kepala sekolah, murid, orang tua dan masyarakat kita
akan mampu mewujudkan suasana kelas dan sekolah yang nyaman dan menyenangkan. Pada
intinya keterbatasan bukanlah menjadi halangan untuk mewujudkan program yang
berdampak pada murid.
Hal kedua yang menarik di modul ini adalah saya diingatkan kembali
tentang tentang tahap-tahap membuat program melalui metode BAGJA. BAGJA merupakan akronim dari Buat pertanyaan, Ambil pelajaran, Gali
mimpi, Jabarkan rencana, dan Atur Eksekusi.
(Sumber : https://sebuahtutorial.com/bagja-dalam-program-guru-penggerak/)
Melalui BAGJA, sekolah hanya
fokus pada kekuatan yang dimiliki. Sehingga, kelemahan atau kekurangan menjadi sesuatu yang
tidak relevan. Melalui BAGJA, sekolah diharapkan akan mampu membuat program yang berdampak pada
murid.
Hal
ketiga yang menarik di modul ini adalah tentang manajemen resiko. Manajemen risiko merupakan salah satu
hal wajib yang harus dilakukan dalam merencanakan program sekolah. Sekolah sebagai
lembaga pendidikan wajib melakukan rangkaian analisis dan
metodologi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, mengendalikan
dan mengevaluasi risiko yang mungkin timbul dari pelaksanaan program sekolah. Risiko tidak dapat dihindari tetapi dapat dikelola dan
dikendalikan karena apabila risiko tidak dikelola dengan baik maka akan
mengakibatkan kerugian serta hambatan.
(Sumber : https://djpb.kemenkeu.go.id)
Benang merah yang dapat saya tarik dari
keterkaitan antar materi yang ada di modul 3.3 ini adalah bahwa program yang
berdampak pada murid dapat dilaksanakan dengan melakukan tahapan pembuatan
program menggunakan metode BAGJA. Melalui metode BAGJA, sekolah akan berfokus
kepada kekuatan bukan kepada kekurangan. Sebelum sebuah program sekolah
dilaksanakan, kita jangan lupa terlebih dahulu melakukan manajemen risiko. Agar
kita dpat mengidentifikasi, mengukur, mengendalikan dan mengevaluasi risiko
yang mungkin terjadi jika program tersebut dilaksanakan. Setelah manajemen
risiko dilaksanakan, maka program dapat diputuskan untuk dilanjutkan atau
tidak. Jika dilanjutkan kita hendaknya melihat sejauh mana keberhasilan dari
program tersebut maka diperlukan MELR (Monitoring, evaluation, learning and
reporting).
Kaitan antara pemetaan sumber daya dengan
perencanaan program sekolah yang berdampak pada murid adalah sekolah sebelum
merencanakan program yang berdampak pada murid hendaknya terlebih dahulu
mengidentifikasi aset-aset yang dimiliki. Setelah selesai mengidentifikasi
aset-aset yang dimiliki, maka sekolah dapat beranjak pada tahap perencanaan
program sekolah melalui metode BAGJA, sehingga diharapkan sekolah akan mampu
mengoptimalkan aset-aset yang dimiliki dan program sekolah yang berdampak pada
murid dapat terwujud.
Materi dalam modul lain yang berhubungan dengan
materi dalam modul 3.3. ini antara lain:
1)
Kaitan modul 3.3 dengan materi
Filosofi pemikiran Ki Hadjar Dewantara.
Dalam filosofi Ki Hajar
Dewantara, tugas guru adalah menuntun murid untuk mencapai tujuan pendidian.
Dalam hal ini guru murid dalam menjalankan program-program sekolah yang
berdampak pada murid untuk bisa hidup sesuai dengan kodrat alam dan zamannya.
Segala potensi yang dimiliki murid akan berkembang secara maksimal dengan
adanya program yang berdampak pada murid.
2)
Kaitan antara modul 3.3 dengan materi Inkuiri Apresiatif.
Dalam menyusun program,
sekolah akan merancang sebuah program yang dapat dirasakan dan berdampak pada
pengembangan murid dan sekolah itu sendiri. Program yang berdampak murid akan
didapatkan dengan menyusun program tersebut secara kolaboratif dan memanfaatkan
kekuatan yang dimiliki. Kekuatan yang dikembangkan agar memiliki kekhasan
sendiri yang membedakan dengan sekolah lainnya. Proses penyusunan program
tersebut mengimplementasikan tahapan BAGJA dengan menerapkan pendekatan inkuiri
apresiatif.
3)
Kaitan modul 3.3 dengan materi pemimpin dalam pengelolaan sumber
daya.
Segala
aset/kekuatan/potensi yang dimiliki sekolah haruslah dipetakan, dikelola dan
dimanfaatkan untuk mendukung dan mewujudkan program yang berdampak pada murid.
Program yang berdampak pada murid akan cepat dan tepat terlaksana jika aset-aset
dimiliki sekolah dapat dimaksimalkan.
Kaitan dari semua materi tersebut dengan peran saya sebagai
guru penggerak adalah bahwa sebagai seorang guru penggerak saya harus
mampu membuat program yang berdampak pada murid. Program-program yang mampu mendorong wellbeing ekosistem pendidikan
sekolah. Wellbeing disini terkait dengan kondisi yang sudah berpihak pada
murid. Kondisi yang membuat murid merasa nyaman untuk belajar sesuai dengan
kebutuhan belajarnya. Program yang berdampak pada murid tentu saja akan mudah
terwujud jika saya sebagai guru penggerak mampu berkolaborasi dengan warga
sekolah lainnya untuk mengidentifikasi aset-aset yang dimiliki guna mendukung
terlaksannya program sekolah yang berdampak pada murid.
KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 3.1
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
SEBAGAI PEMIMPIN
PEMBELAJARAN
Guru Penggerak diharapkan menjadi katalis perubahan pendidikan di daerahnya. Salah satunya dengan menjadi pemimpin pembelajaran yang mendorong well-being ekosistem pendidikan di sekolah. Wellbeing disini terkait dengan kondisi yang berpihak pada murid, dimana murid merasa nyaman untuk belajar sesuai dengan kebutuhan belajarnya. Sebagai manusia dan pemimpin pembelajaran, kita tentu saja akan berhadapan dengan berbagai permasalahan baik di kelas maupun di lingkungan sekolah. Dalam hal ini kita diharapkan mampu mengambil keputusan yang bijaksana dan berpihak pada murid. Pada saat mengambil keputusan Guru Penggerak dapat berpedoman kepada Pilosopi Patrap Triloka dari Ki Hadjar Dewantara.
Ing Ngarso Sung Tulodho artinya di depan
memberi teladan, sebagai seorang pemimpin pembelajaran, kita hendaknya untuk
selalu menjadi teladan bagi murid dalam berbagai hal, termasuk dalam mengambil
keputusan. Keputusan yang kita ambil diharapkan mencerminkan peran kita sebagai
pemimpin pembelajaran. Seperti kita ketahui, seorang pemimpin pembelajaran akan
selalu berusaha agar keputusan yang diambil mampu menciptakan kondisi yang memberikan rasa nyaman pada murid sesuai
dengan kebutuhan belajarnya. Ing Madya Mangun Karso artinya di tengah membangun
kehendak, setiap keputusan yang kita
ambil hendaknya mampu membangun semangat dan motivasi murid untuk belajar. Sedangkan Tut Wuri handayani artinya di
belakang memberikan dorongan, kita sebagai pemimpin pembelajaran hendaknya mampu
mengambil keputusan yang mampu mendorong murid kita untuk mengembangkan bakat
dan potensi yang mereka miliki.
Nilai-nilai yang tertanam dalam diri kita sangat berpengaruh kepada prinsip-prinsip yang kita ambil dalam pengambilan sebuah keputusan. Apalagi sebagai seorang Calon Guru Penggerak, kita diharapkan mampu menjiwai nilai-nilai guru penggerak dalam setiap langkah kita. Nilai tersebut diantaranya nilai mandiri, reflektif , kolaboratif, inovatif serta berpihak pada murid. Nilai-nilai inilah yang kemudian akan berpengaruh besar terhadap pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran. Seorang guru yang memiliki nilai berpihak pada murid misalnya, maka ia akan selalu berusaha untuk mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan belajar muridnya secara cepat dan tepat. Ia akan berusaha agar keputusan yang ia ambil mampu menciptakan kondisi yang nyaman bagi muridnya. Ia juga akan melakukan kolaborasi dan refleksi untuk mengetahui apakah keputusan yang diambil telah tepat atau tidak. Nilai-nilai yang tertanam tersebut kemudian akan menjadi faktor penentu dalam memilih prinsip yang akan kita gunakan dalam pengambilan keputusan, apakah prinsip berpikir berbasis hasil akhir, prinsip berfikir berbasis peraturan, maupun prinsip berpikir berbasis berbasis rasa peduli.
Pada modul 3.1 ini, Calon Guru Penggerak
mempelajari materi tentang pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran.
Materi ini merupakan sesuatu hal yang baru bagi saya pribadi. Pada saat
mempelajari modul ini, kita para Calon Guru Penggerak secara terjadwal
mendapatkan bimbingan dari fasilitator dan pengajar praktik. Salah satu metode
yang diterapkan adalah metode coaching.
Melalui metode coaching kami belajar
apa perbedaan dilema etika dan bujukan moral, paradigma pengambilan keputusan,
prinsip-prinsip pengambilan keputusan dan Sembilan langkah pengujian dan
pengambilan keputusan dan lain-lain. Banyak sekali manfaat yang dirasakan dari
metode coaching ini yang mengasah
kemampuan kami untuk mengambil keputusan sebagai pemimpin pembelajaran.
Setelah mempelajari modul 3.1 ini, CGP memahami bahwa sebelum
mengambil sebuah keputusan kita hendaknya mengidentifikasi apakah kasus yang
kita hadapi merupakan bujukan moral atau dilema etika. Jika masuk ke dalam dilema
etika, maka kita hendaknya mengambil keputusan berdasarkan empat paradigma dilema
etika diantaranya (1) individu lawan masyarakat, (2) rasa keadilan lawan rasa
kasihan, (3) kebenaran lawan kesetiaan dan (4) jangka pendek lawan jangka panjang.
Selain itu kita juga harus memperhatikan
tiga prinsip pengambilan keputusan, yaitu (1) prinsip berpikir berbasis hasil
akhir, (2) prinsip berpikir berbasis peraturan, dan (3) prinsip berfikir
berbasis rasa peduli. Setelah menentukan paradigma dilema etika dan prinsip
berpikir yang akan digunakan, maka kita akan melakukan langkah selanjutnya yaitu melakukan pengujian
dan pengambilan keputusan. Langkah-langkah tersebut diharapkan akan mampu melahirkan
keputusan yang tepat dan berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif,
kondusif, aman dan nyaman.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pemilihan prinsip sangat
dipengaruhi oleh nilai yang dipegang oleh seorang guru. Seseorang yang sudah
menjiwai nilai guru penggerak (mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif dan berpihak pada murid) diharapkan akan memilih prinsip yang tepat dan pada
akhirnya akan bermuara pada keputusan yang berpihak kepada murid.
Proses pengambilan keputusan terhadap kasus dilema etika yang
terjadi di sekolah, tidak menemukan kesulitan yang berarti. Kami sudah terbiasa
untuk mendiskusikan permasalahan yang terjadi di sekolah secara bersama-sama
dan penuh dengan keterbukaan. Sehingga proses pengambilan keputusan dapat
berjalan dengan lancar tanpa kendala.
Pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran tentu saja
sangat berpengaruh terhadap pengajaran yang memerdekakan murid. Seorang
pemimpin pembelajaran akan selalu berupaya untuk mengambil keputusan yang
berpihak kepada murid. Keputusan yang mampu menciptakan kondisi yang nyaman
bagi murid untuk belajar. Kita juga harus menyadari bahwa setiap keputusan yang
kita ambil dapat mempengaruhi kehidupan atau masa depan murid-murid. Oleh
karena itu, kita hendaknya selalu melakukan langkah-langkah pengambilan
keputusan yang tepat, jangan ceroboh dan asal mengambil keputusan. Jangan
sampai kita salah mengambil keputusan yang berdampak buruk pada masa depan
murid kita.
Kesimpulan akhir yang saya dapat tarik dalam pembelajaran modul 3.1 adalah bahwa pengambilan keputusan sebagai pemimpin pembelajaran bukan hal yang mudah, banyak hal yang harus kita perhatikan sebelum kita mengambil keputusan, dari memilih paradigma dilema etika, prinsip pengambilan keputusan sampai langkah-langkah pengujian dan pengambilan keputusan. Keterkaitan materi pada modul ini dengan modul-modul sebelumnya, yaitu seorang guru sebelum mengambil keputusan sebagai pemimpin pembelajaran hendaknya terlebih dahulu memahami pilosopi pratap triloka dari Ki Hadjar Dewantara, memahami bagaimana peran guru seharusnya dan bagaimana cara melakukan metode coaching dengan baik agar keputusan yang diambil akan berpihak pada murid dan sesuai dengan kebutuhan belajarnya.
Assalamu'alaikum Wr.Wb
Assalamu'alaikum Wr.Wb
Assalamu'alaikum Wr.Wb
KONEKSI ANTAR MATERI
MODUL 2.1
PEMBELAJARAN
BERDIFERENSIASI
Oleh Ruli Aspirini, S.Pd
CGP Kab. Pandeglang
Guru merupakan profesi yang sangat luar biasa. Disadari atau tidak,
setiap hari kita sebagai guru harus berhadapan dengan murid yang begitu beragam.
Baik itu beragam dari sisi kesiapan belajar, minat, gaya belajar, dan
lain-lain. Dari segi minat misalnya ada murid yang suka bermain musik, berolah
raga, memasak atau mungkin melakukan percobaan-percobaan di laboratorium. Hal
ini kemudian menuntut kita untuk mampu menerapkan proses pembelajaran yang
dapat mengakomodir keberagaman tersebut, sehingga tujuan pembelajaran yang kita
harapkan dapat tercapai. Salah satu solusi yang dapat kita lakukan adalah
dengan menerapakan Pembelajaran Berdiferensiasi. Apa itu Pembelajaran
Berdiferensiasi? Menurut Tomlinson (2000), Pembelajaran Berdiferensiasi adalah
usaha untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan
belajar individu setiap murid. Dalam Pembelajaran Berdiferensiasi semua
keputusan yang dibuat oleh guru berorientasi kepada kebutuhan murid.
(Sumber : Dokumen Pribadi)
Bagaimana penerapan Pembelajaran Berdiferensiasi di kelas? Pembelajaran
Berdiferensiasi diawali dengan kegiatan memetakan kebutuhan belajar murid. Tomlinson
berpendapat bahwa kita dapat mengkategorikan kebutuhan belajar murid, paling
tidak berdasarkan 3 aspek, yaitu kesiapan belajar (readiness) murid, minat murid dan profil belajar murid.
1)
Kesiapan
belajar (readiness)
Kesiapan belajar adalah kapasitas untuk
mempelajari materi baru. Kesiapan belajar tidak berkaitan dengan tingkat
intelektualitas (IQ). Namun, berkaitan dengan informasi tentang apakah
pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki murid saat ini, sesuai dengan
keterampilan atau pengetahuan baru yang akan diajarkan. Dengan adanya pemetaan
kebutuhan belajar murid berdasarkan kesiapan belajar, guru dapat memodifikasi
tingkat kesulitan pada bahan pembelajaran sehingga kebutuhan belajar murid
dapat terpenuhi.
Dalam menentukan
kesiapan belajar murid pada suatu konsep, kita dapat melakukan asesmen untuk
menentukan apa yang dipahami murid tentang konsep tersebut dan mengamati murid
ketika menyelesaikan suatu tugas atau aktivitas. Guru juga bisa bertanya tentang
apa yang diketahui oleh murid.
2)
Minat
murid
Minat merupakan salah satu faktor yang mendorong murid untuk terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Setiap murid di kelas mungkin memiliki minat yang berbeda-beda. Ada murid yang berminat pada seni, matematika, sains, drama, memasak dan lain sebagainya. Dengan mengenali minat murid, guru dapat merencanakan pembelajaran yang menarik dan bermakna. Guru dapat menentukan minat murid melalui asesmen diagnosis awal.
3)
Profil
belajar murid
Profil
belajar murid berkaitan dengan banyak faktor seperti bahasa, budaya, keadaan
keluarga, dan lain-lain. Selain itu juga profil belajar berhubungan dengan gaya
belajar seseorang. Di bawah ini merupakan jenis-jenis gaya belajar yang
dimiliki murid dan perlu diketahui guru agar dapat menjadi salah satu
pertimbangan dalam penerapan Pembelajaran Berdiferensiasi.
(Sumber : https://www.cikgutere.com)
Tujuan pemetaan kebutuhan belajar murid
berdasakan profil belajar adalah untuk memberikan kesempatan kepada murid untuk
belajar secara natural dan efisien. Setiap anak di kelas memiliki profil belajar
sendiri. Seorang guru hendaknya dapat memvariasikan metode dan pendekatan
mengajar di kelas.
Setelah melakukan pemetaan terhadap kebutuhan belajar murid, maka kita
kemudian memilih strategi diferensiasi yang akan kita terapkan agar kebutuhan
belajar murid dapat terpenuhi dan hasil belajar yang optimal dapat tercapai. Tiga
strategi dalam Pembelajaran Berdiferensiasi, yaitu sebagai berikut :
1)
Diferensiasi
Konten
Diferensiasi konten berkaitan dengan apa
yang kita ajarkan kepada murid. Hal ini merujuk pada strategi membedakan
pengorganisasiaan dan format penyampaian konten. Konten adalah materi
pengetahuan, konsep, dan keterampilan yang perlu dipelajari murid berdasarkan
kurikulum.
2)
Diferensiasi
Proses
Diferensiasi proses berkaitan dengan
bagimana murid akan memahami memaknai apa informasi atau materi yang akan
dipelajari. Diferensiasi proses merujuk pada strategi yang membedakan proses
yang harus dijalani oleh murid yang dapat memungkinkan mereka untuk berlatih
dan memahami isi (conten) materi. Cara melakukan diferensiasi proses
diantaranya sebagai berikut : a) kegiatan berjenjang, b) pertanyaan
pemandu/tantangan, c) membuat agenda individual untuk murid, d) memvariasikan
lama waktu untuk mengerjakan tugas, e) mengembangkan kegiatan yang dapat
mengakomodasi beragam gaya belajar visual, audiotori, dan kinestetik, e) menggunakan
pengelompokan yang fleksibel sesuai dengan kesiapan, kemampuan dan minat murid.
3)
Diferensiasi
Produk
Diferensiasi produk berkaitan dengan tagihan apa yang kita harapkan dari murid.
Produk merupakan hasil pekerjaan atau unjuk kerja yang harus ditunjukan murid
kepada kita. Produk dapat berupa karangan, hasil tulisan, hasil tes,
pertunjukan, presentasi, pidato, rekaman, diagram dan lain sebagainya. Hal yang
paling penting adalah produk tersebut harus mencerminkan pemahaman murid dan
berhubungan dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan. Guru sebelum menentukan
produk harus mempertimbangkan kebutuhan belajar murid.
Pembelajaran Berdiferensiasi sejalan dengan pemikiran Ki Hadjar
Dewantara. Menurut Ki Hadjar tugas guru adalah menuntun tumbuh kembangnya anak
sesuai dengan kodratnya masing-masing. Layaknya seperti seorang petani yang
tidak bisa merubah padi menjadi jagung, begitu juga dengan kita sebagai guru
tidak bisa merubah kodrat anak. Namun, kita dapat membantu anak untuk
mengembangkan bakatnya dengan menciptakan lingkungan yang mampu membantu untuk
mengembangkan bakat yang dimilikinya tersebut. Melalui Pembelajaran
Berdiferensiasi inilah hal tersebut dapat terwujud.
Pembelajaran Berdiferensiasi akan mudah terwujud jika guru mampu
melaksanakan peran guru penggerak dengan baik, tentu saja sang guru terlebih
dahulu harus mampu menjiwai nilai guru penggerak terutama nilai berpihak pada
murid. Tanpa keberpihakan pada murid maka lingkungan yang mendukung proses Pembelajaran
Berdiferensiasi tidak akan terwujud. Seperti apakah lingkungan yang mendukung
pembelajaran berdiferensiasi? Lingkungan yang mendukung Pembelajaran
Berdiferensiasi adalah lingkungan dimana kehadiran setiap orang dihargai,
setiap orang merasa aman, satu sama lain saling membantu mengembangkan
kemampuannya, satu sama lain saling mendukung, semua murid mendapatkan semua
yang ia butuhkan, dan guru dan murid berkolaborasi untuk mencapai kesuksesan. Lingkungan
ini dibangun di atas komunitas belajar yang di dalamnya terdiri dari
orang-orang yang memiliki jiwa pembelajar.
(Sumber: https://www.pngwing.com)
Dalam membangun komunitas belajar, tentu saja guru membutuhkan kemampuan
kolaborasi yang baik. Guru harus mampu merangkul berbagai pihak, baik itu kepala sekolah,
orang tua, guru BK dan rekan sejawat lainnya. Komunitas belajar dapat
menggunakan Pendekatan IA dalam memetakan kebutuhan belajar murid. Melalui pendekatan IA, guru akan mengetahui potensi atau
kekuatan yang dimiliki oleh setiap murid di kelas. Tugas guru kemudian adalah memotivasi para murid
agar mau mengoptimalkan segala kekuatan yang dimiliki.
Penerapan Pembelajaran Berdiferensiasi akan mempermudah
terwujudnya budaya positif di sekolah yang kemudian akan bermuara pada
terwujudnya visi sekolah. Seperti kita ketahui bahwa, visi sekolah hendaknya
mendukung terciptanya lingkungan belajar yang ramah bagi semua pihak, baik itu
murid, guru, maupun orang tua. Melalui Pembelajaran Berdiferensiasilah, setiap orang akan terbiasa
untuk saling menghargai, saling mendukung dan berkolaborasi. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa penerapan Pembelajaran Berdiferensi memiliki dampak
yang besar bagi terwujudnya visi sekolah.
BUDAYA
POSITIF SEKOLAH
Oleh Ruli Aspirini, S.Pd
CGP Kab. Pandeglang
(Sumber
: Dokumen Pribadi)
Sekolah merupakan institusi pembentukan
karakter. Agar murid memiliki karakter yang diharapkan maka sekolah harus memiliki
budaya positif. Budaya positif di sekolah adalah nilai-nilai,
keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang berpihak pada
murid agar murid dapat berkembang menjadi pribadi yang kritis, penuh hormat dan
bertanggung jawab. Kita selama ini telah mengenal berbagai budaya positif di sekolah,
misalnya budaya 5S (Salam, Senyum, Sapa, Sopan, Santun) dan budaya-budaya
positif lainnya yang ada di sekolah. Budaya positif di sekolah akan terwujud
jika semua komponen sekolah ikut serta dalam membangun budaya positif tersebut,
terutama kita sebagai guru yang memegang
peranan sentral. Sebagai seorang guru penggerak, kita harus mampu menjadi
inisiator dalam mewujudkan budaya positif di sekolah. Dengan budaya positif
yang dimilikinya, sekolah diharapkan akan mampu melahirkan murid-murid yang
memiliki profil pelajar pancasila.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Ki Hadjar
Dewantara tentang tujuan pendidikan, yaitu menuntun segala kodrat yang ada pada
anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Ki
Hadjar Dewantara juga mengajarkan kita bahwa tugas guru adalah “menuntun”
tumbuh kembangnya anak dan setiap anak memiliki kodratnya masing-masing.
(Sumber : Dokumen Pribadi)
Oleh karena itu sebagai guru penggerak, kita harus mampu membangun komunitas di sekolah yang memiliki tekad dan semangat sama, yaitu untuk melahirkan murid-murid yang memiliki profil pelajar pancasila, yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Berahlak Mulia, mandiri, bergotong-royong, berkebinekaan global, bernalar kritis, dan kreatif sehingga diharapkan tujuan pendidikan dapat terwujud.
(Sumber : https://cerdasberkarakter.kemdikbud.go.id/?page_id=2817)
Profil pelajar pancasila akan terbentuk jika guru mampu melaksanakan peran guru penggerak dengan baik, diantaranya menjadi pemimpin pembelajaran, menggerakan komunitas praktisi, menjadi coach bagi guru lain, mendorong kolaborasi antar guru dan mewujudkan kepemimpinan murid. Peran guru penggerak tersebut akan terwujud jika guru memiliki nilai guru penggerak, yaitu mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif dan berpihak pada murid.
Dalam upayanya untuk mewujudkan budaya positif di sekolah yang kemudian akan berdampak pada terwujudnya profil pelajar pancasila, guru penggerak tentu harus mampu berkolaborasi dengan berbagai pihak dalam mengembangkan visi bersama tentang apa yang ingin dicapai sekolah. Dalam kaitannya dengan pencapaian visi kita dapat menggunakan Pendekatan Inkuiri Apresiatif (IA). Melalui IA, guru penggerak bersama-sama dengan seluruh komponen sekolah baik kepala sekolah, rekan sejawat, murid, orang tua maupun komponen sekolah lainnya menganalisis potensi atau kekuatan yang dimiliki oleh seluruh komponen yang ada di sekolah.
Melalui pendekatan IA, guru penggerak akan mengetahui potensi
atau kekuatan yang dimiliki oleh seluruh komponen di sekolah, terutama guru.
Tugas guru penggerak adalah memotivasi para guru agar mau mengoptimalkan segala
kekuatan yang dimiliki, kemudian mengajak mereka untuk berkolaborasi dalam
membangun budaya positif di sekolah. Tentu saja dalam hal ini dibutuhkan
kemampuan kolaborasi dari seorang guru penggerak. Melalui komunikasi yang
efektif dan keteladanan dari guru penggerak, kebiasaan-kebiasaan baik yang
dilakukan oleh guru penggerak diharapkan
akan menular kepada rekan guru yang lain.
Penerapan budaya positif dalam aktivitas belajar mengajar sehari-hari dilandasi oleh disiplin positif. Disiplin positif merupakan sebuah model disiplin yang difokuskan pada perilaku positif agar murid menjadi pribadi yang penuh hormat dan bertanggung jawab (Nelsen.,Lott & Glenn, 2000). Dalam disiplin positif guru harus mampu membangun hubungan yang baik dengan murid. Diantaranya dengan bersikap baik dan tegas secara bersamaan, membantu murid merasa dihargai dan menjadi bagian dari kelas, berfokus pada perubahan dan peningkatan perilaku yang menetap, melatih murid untuk memiliki keterampilan social dan mengajak murid untuk menemukan dan menggunakan kekuatan mereka. Disiplin positif tidak mengenal adanya hukuman, namun konsekuensi.
Melalui disiplin positif diharapkan murid akan
mampu memahami perilaku mereka sendiri, mampu mengambil inisiatif, serta
bertanggung jawab atas pilihan mereka serta mampu menghargai diri mereka
sendiri serta orang lain. Dalam penerapannya, disiplin positif tentu saja
membutuhkan keterlibatan semua komponen sekolah termasuk orang tua di rumah,
agar perilaku disiplin berjalan dengan konsisten antara rumah dengan sekolah.
Sekolah dalam hal ini harus membekali orang tua dengan informasi tentang
bagaimana cara mempraktekan disiplin positif di rumah.
Pada saat penerapan budaya positif dalam
aktivitas belajar mengajar sehari-hari di kelas, seorang guru harus mampu
berperan sebagai manajer. Dimana dalam hal ini guru hendaknya mengajak murid untuk
membuat kesepakatan kelas. Kesepakatan kelas merupakan langkah awal dalam
membangun budaya positif di sekolah. Kesepakatan kelas diharapkan akan membantu
pembentukan budaya disiplin positif di kelas, yang kemudian akan berdampak juga
terhadap proses belajar mengajar yang menyenangkan bebas dari segala tekanan.
Kesepakatan kelas berisi beberapa aturan
untuk membantu guru dan murid bekerja bersama membentuk kegiatan belajar
mengajar yang efektif.
(Sumber : https://japanese.binus.ac.id)
Kesepakatan kelas berisikan
harapan-harapan baik dari guru ke murid maupun sebaliknya dari murid ke guru.
Dalam penyusunan kesepakatan kelas, guru berkolaborasi dengan murid. Satu hal
yang harus diperhatikan dalam penyusunan kesepakatan kelas adalah jangan
terlalu banyak membuat aturan-aturan. Hal ini akan membuat murid merasa
kesulitan bahkan kesepakatan kelas tersebut menjadi tidak bermakna sama sekali.
Cukup 4 - 8 aturan saja untuk setiap kelas. Kesepakatan harus disusun dengan
jelas sehingga murid dapat memahami perilaku apa yang diharapkan dari
mereka. Penggunaan kalimat positif menjadi hal yang wajib dalam
kesepakatan kelas, karena kalimat positif akan lebih mudah dipahami
dibandingkan kalimat negative, seperti penggunaan kata “dilarang” atau “tidak”
sebaiknya tidak dilakukan. Kesepakatan kelas yang telah disusun tentu saja
tidak mutlak berlaku untuk selamanya, tetapi perlu dilakukan evaluasi dan
refleksi secara berkala, misalnya setiap awal semester. Berikut ini contoh
kesepakatan kelas.
(Sumber : Dokumen Pribadi)
Setelah kesepakatan kelas, upaya yang dapat kita lakukan
dalam mewujudkan budaya positif di sekolah adalah mengembangkan visi sekolah.
Visi berisi harapan-harapan yang ingin dicapai sekolah. Melalui visi kita dapat
mengetahui langkah-langkah apa yang harus kita lakukan dan tujuan yang ingin
kita capai. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, melalui pendekatan Inkuiri
Apresiatif (IA) kita hendaknya memanfaatkan semua kekuatan yang dimiliki oleh
komponen sekolah dan berfokus pada hal-hal positif yang sudah berhasil
dikembangkan di sekolah.
Visi sekolah yang akan dikembangkan hendaknya mendukung
terciptanya lingkungan belajar yang ramah bagi semua pihak, baik itu murid,
guru, maupun orang tua. Semua pihak merasa salaing menghargai satu sama lain
dan para murid memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensinya serta
kebebasan untuk menyampaikan pendapat maupun harapan-harapannya. Visi sekolah
juga hendaknya mendukung proses pembelajaran yang penuh dengan rasa saling
menghormati dan saling peduli satu sama lain. Serta memberikan kesempatan
kepada semua pihak untuk terlibat dalam setiap kebijakan yang ada di sekolah.
Penjelasan di atas menyadarkan kita bahwa untuk membangun
budaya positif membutuhkan
waktu yang tidak singkat, dibutuhkan konsistensi dan keterlibatan semua
komponen di sekolah untuk bahu membahu membangun budaya positif. Sebagai
seorang guru penggerak, kita harus mampu menjadikan budaya-budaya positif yang
sudah kita lakukan di kelas (melalui kesepakatan kelas) menjadi budaya positif
sekolah dan bahkan menjadi visi sekolah. Caranya tentu saja melalui aksi nyata
kita yang dapat menjadi teladan bagi guru yang lain dan melalui kemampuan kita
untuk mengajak semua komponen sekolah untuk berkolaborasi.
Semoga ikhtiar kita dalam mewujudkan budaya positif di
sekolah dapat berjalan seperti yang kita inginkan. Aamiin.,
A. Latar Belakang
Pendidikan
adalah usaha untuk memanusiakan manusia. Tujuan pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah menuntun
segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan
dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai
anggota masyarakat. Setiap anak memiliki karakteristik masing-masing. Mereka
memiliki potensi, minat, dan
bakatnya sendiri. Peran guru adalah menuntun anak-anak tersebut sesuai dengan
minat, bakat, dan potensinya. Dalam proses menuntut anak diberi kebebasan,
namun pendidik harus tetap memberi arahan agar anak tidak kehilangan arah.
Ki
Hadjar Dewantara juga menjelaskan bahwa pendidik hendaknya mendidik anak dengan
cara-cara yang sesuai dengan tuntunan alam dan zamannya sendiri. Kodrat alam
berkaitan dengan tempat sang anak tinggal, kita tahu anak-anak tinggal di
daerah yang berbeda yang kemudian berpengaruh terhadap kebiasaan mereka.
Berkaitan dengan kodrat zaman saat ini kita sedang menghadapi era globalisasi
dimana anak dituntut untuk memiliki keterampilan Abad 21 agar mereka memiliki
daya saing.
Berdasarkan
pemikiran di atas, pendidik hendaknya mampu menyelenggarakan proses
pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Pembelajaran yang melibatkan
peserta didik dari proses perencanaan pembelajaran sampai refleksi. Peserta
didik diberi kebebasan untuk mengemukakan gagasannya, diberi kesempatan untuk
menemukan cara belajarnya. Sehingga pembelajaran akan terasa lebih bermakna
bagi mereka.
Pandemi
Covid 19 membuat perubahan besar dalam hidup kita, salah satunya dalam proses
pembelajaran yang tadinya berlangsung secara tatap muka beralih menjadi Belajar
Dari Rumah (BDR) menggunakan berbagai aplikasi, diantaranya google classroom, Rumah Belajar maupun WhatsApp. Sebagai seorang pendidik tentu
saja kita tidak dapat menyerah dengan keadaan, kita justru dituntut untuk lebih
aktif, kreatif dan inovatif. Kita dituntut untuk membantu peserta didik agar
tetap semangat untuk belajar, diantaranya yaitu dengan memilih media
pembelajaran dan metode pembelajaran yang menarik. Salah satu media
pembelajaran yang pendidik gunakan dalam aksi nyata ini adalah komik sedangkan
untuk menguji pemahaman peserta didik pendidik menggunakan games Wordwall.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari rancangan aksi nyata ini
yaitu sebagai berikut :
1.
mewujudkan pembelajaran
yang berpusat pada siswa.
2.
mewujudkan pembelajaran
yang bermakna.
3.
mewujudkan pembelajaran
yang menyenangkan.
4.
meningkatkan keaktifan peserta
didik.
5.
meningkatkan motivasi
belajar peserta didik.
6.
meningkatkan hasil
belajar peserta didik.
C.
Deskripsi Aksi Nyata
Sebelum
memilih metode dan media pembelajaran yang akan digunakan pendidik terlebih
dahulu berdiskusi dengan peserta didik tentang perasaan mereka selama Belajar
Dari Rumah (BDR). Sebagian besar dari mereka merasa bosan dan malas mengikuti
pembelajaran Daring. Hal ini juga terlihat dari persentase peserta didik yang
mengikuti pembelajaran daring melalui WhatsApp
Group. Akhirnya pendidik mulai mencari solusi dari masalah yang terjadi.
Pendidik memutuskan untuk membuat media pembelajaran yang mampu menarik minta
peserta didik. Setelah mencari dari berbagai sumber diantaranya google dan Youtube
serta berdiskusi dengan rekan sejawat di sekolah, pendidik memutuskan untuk
membuat media pembelajaran komik. Pendidik mempelajari berbagai aplikasi komik
yang ada, pendidik kemudian memutuskan untuk menggunakan aplikasi Pixton dan
Canva. Setelah itu pendidik mencari aplikasi untuk menguji pemahaman peserta
didik yang menarik dan tidak membosankan, setelah pendidik searching di google akhirnya pendidik memutuskan untuk menggunakan
aplikasi Wordwall. Setelah komik dan
soal di Wordwall selesai, pendidik
kemudian melaksanakan proses pembelajaran.
Proses
pembelajaran diawali dengan berdoa dan mengecek kehadiran peserta didik,
kemudian dilanjutkan dengan ice breaking
bermain tebak kata setelah peserta didik siap mengikuti pelajaran barulah
kegiatan belajar dimulai. Pendidik membagikan komik tentang kehidupan manusia
pada masa praksara. Komik dikemas dalam bentuk percakapan. Hal ini diharapkan
akan membuat peserta didik memahami materi pelajaran. Setelah membaca komik,
peserta didik kemudian ditugaskan untuk mendikusikan informasi yang merek
atemukan dari komik yang mereka baca. Perwakilan kelompok ditugaskan untuk
mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya. Setelah selesai, untuk menguji
pemahaman peserta didik terhadap materi yang telah dipelajari, pendidik
memberikan link Wordwall. Dimana
peserta didik harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan materi
yang telah dipelajari dalam bentuk game Wordwall.
Peserta didik dapat berkali-kali mengerjakan games tersebut, sampai mereka
memperoleh nilai maksimal.
Kegiatan Pembelajaran melalui media WhatsApp Group
D.
Hasil Aksi Nyata
Pembelajaran
dengan menggunakan komik dan game Wordwall
ternyata mampu menarik minat peserta didik. Komik membuat peserta didik tertarik
dan termotivasi untuk mempelajari materi pelajaran, gambar-gambar yang terdapat
pada komik dan materi yang dikemas dalam percakapan membuat peserta didik tidak
merasa seperti sedang belajar, sehingga kegiatan pembelajaran terasa
menyenangkan bagi mereka. Komik juga melatih kemampuan literasi peserta didik.
Begitupun dengan dengan game Wordwall
membuat peserta didik termotivasi dan tertantang untuk mampu menjawab soal-soal
yang terdapat pada game Wordwall.
Kesempatan yang lebih dari satu kali dalam menjawab pertanyaan pada games
membuat peserta didik terus mencoba menjawab sampai mereka memperoleh hasil
maksimal. Pertanyaan yang dikemas dalam bentuk games juga membuat peserta didik
tidak merasa sedang di uji pemahamannya, tetapi mereka merasa sedang bermain.
E.
Refleksi Aksi Nyata
Pandemi
Covid-19 bukan menjadi alas an bagi kita sebagai seorang pendidik untuk
berputus asa dalam mendidik. Justru membuat kita terpacu untuk terus
meningkatkan kompetensi diri. Diantaranya dengan membuat metode dan media
pembelajaran semenarik mungkin, sehingga peserta didik kita yang sudah terlalu
lama Belajar Dari Rumah (BDR) menjadi termotivasi kembali untuk belajar. Pembelajaran
dengan menggunakan komik dan game Wordwall
ternyata mampu menarik minat peserta didik yang kemudian berpengaruh terhadap
kompetensi peserta didik. Komik membuat peserta didik bersemangat dalam
belajar, gambar-gambar yang dikemas semenarik mungkin membuat mereka lebih
bersemangat dalam membaca dibandingkan ketika membaca buku paket atau modul
yang biasa mereka baca. Semangat untuk membaca tentu saja berpengaruh terhadap
pemahaman peserta didik. Ditambah lagi dengan games diakhir pelajaran semakin
membuat mereka bersemangat untuk belajar.
Adapun
kendala yang dialami dalam pelaksanaan Aksi Nyata ini, yaitu masih ada beberapa
peserta didik yang belum terlibat dalam proses pembelajaran. Hal ini disebabkan
mereka tidak memiliki Handphone, selain itu beberapa peserta didik kesulitan
untuk mengakses game Wordwall karena
daerah mereka susah sinyal.
F.
Rencana Perbaikan di Masa Mendatang
Perbaikan
yang akan pendidik lakukan, diataranya yaitu berkaitan dengan meningkatkan
kompetensi pendidik dalam membuat komik yang lebih menarik dan mencari
aplikasi-aplikasi pembuat komik lainnya. Selain itu pendidik juga berencana
membuat soal games yang lebih bervariasi melalui aplikasi Wordwall. Peserta didik yang memiliki Handphone dan tidak memiliki
serta rumahnya berdekatan, pendidik tugaskan untuk berkolaborasi. Agar semua
peserta didik dapat mengikuti proses pembelajaran.
Assalamu'alaikum Wr.Wb Apakabar sahabat IPS? Semoga kalian tetap semangat belajar IPS Bagi kalian kelas 8 yang mau menghadapi Asesme...