BUDAYA
POSITIF SEKOLAH
Oleh Ruli Aspirini, S.Pd
CGP Kab. Pandeglang
(Sumber
: Dokumen Pribadi)
Sekolah merupakan institusi pembentukan
karakter. Agar murid memiliki karakter yang diharapkan maka sekolah harus memiliki
budaya positif. Budaya positif di sekolah adalah nilai-nilai,
keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang berpihak pada
murid agar murid dapat berkembang menjadi pribadi yang kritis, penuh hormat dan
bertanggung jawab. Kita selama ini telah mengenal berbagai budaya positif di sekolah,
misalnya budaya 5S (Salam, Senyum, Sapa, Sopan, Santun) dan budaya-budaya
positif lainnya yang ada di sekolah. Budaya positif di sekolah akan terwujud
jika semua komponen sekolah ikut serta dalam membangun budaya positif tersebut,
terutama kita sebagai guru yang memegang
peranan sentral. Sebagai seorang guru penggerak, kita harus mampu menjadi
inisiator dalam mewujudkan budaya positif di sekolah. Dengan budaya positif
yang dimilikinya, sekolah diharapkan akan mampu melahirkan murid-murid yang
memiliki profil pelajar pancasila.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Ki Hadjar
Dewantara tentang tujuan pendidikan, yaitu menuntun segala kodrat yang ada pada
anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang
setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Ki
Hadjar Dewantara juga mengajarkan kita bahwa tugas guru adalah “menuntun”
tumbuh kembangnya anak dan setiap anak memiliki kodratnya masing-masing.
(Sumber : Dokumen Pribadi)
Oleh karena itu sebagai guru penggerak, kita harus mampu membangun komunitas di sekolah yang memiliki tekad dan semangat sama, yaitu untuk melahirkan murid-murid yang memiliki profil pelajar pancasila, yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Berahlak Mulia, mandiri, bergotong-royong, berkebinekaan global, bernalar kritis, dan kreatif sehingga diharapkan tujuan pendidikan dapat terwujud.
(Sumber : https://cerdasberkarakter.kemdikbud.go.id/?page_id=2817)
Profil pelajar pancasila akan terbentuk jika guru mampu melaksanakan peran guru penggerak dengan baik, diantaranya menjadi pemimpin pembelajaran, menggerakan komunitas praktisi, menjadi coach bagi guru lain, mendorong kolaborasi antar guru dan mewujudkan kepemimpinan murid. Peran guru penggerak tersebut akan terwujud jika guru memiliki nilai guru penggerak, yaitu mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif dan berpihak pada murid.
Dalam upayanya untuk mewujudkan budaya positif di sekolah yang kemudian akan berdampak pada terwujudnya profil pelajar pancasila, guru penggerak tentu harus mampu berkolaborasi dengan berbagai pihak dalam mengembangkan visi bersama tentang apa yang ingin dicapai sekolah. Dalam kaitannya dengan pencapaian visi kita dapat menggunakan Pendekatan Inkuiri Apresiatif (IA). Melalui IA, guru penggerak bersama-sama dengan seluruh komponen sekolah baik kepala sekolah, rekan sejawat, murid, orang tua maupun komponen sekolah lainnya menganalisis potensi atau kekuatan yang dimiliki oleh seluruh komponen yang ada di sekolah.
Melalui pendekatan IA, guru penggerak akan mengetahui potensi
atau kekuatan yang dimiliki oleh seluruh komponen di sekolah, terutama guru.
Tugas guru penggerak adalah memotivasi para guru agar mau mengoptimalkan segala
kekuatan yang dimiliki, kemudian mengajak mereka untuk berkolaborasi dalam
membangun budaya positif di sekolah. Tentu saja dalam hal ini dibutuhkan
kemampuan kolaborasi dari seorang guru penggerak. Melalui komunikasi yang
efektif dan keteladanan dari guru penggerak, kebiasaan-kebiasaan baik yang
dilakukan oleh guru penggerak diharapkan
akan menular kepada rekan guru yang lain.
Penerapan budaya positif dalam aktivitas belajar mengajar sehari-hari dilandasi oleh disiplin positif. Disiplin positif merupakan sebuah model disiplin yang difokuskan pada perilaku positif agar murid menjadi pribadi yang penuh hormat dan bertanggung jawab (Nelsen.,Lott & Glenn, 2000). Dalam disiplin positif guru harus mampu membangun hubungan yang baik dengan murid. Diantaranya dengan bersikap baik dan tegas secara bersamaan, membantu murid merasa dihargai dan menjadi bagian dari kelas, berfokus pada perubahan dan peningkatan perilaku yang menetap, melatih murid untuk memiliki keterampilan social dan mengajak murid untuk menemukan dan menggunakan kekuatan mereka. Disiplin positif tidak mengenal adanya hukuman, namun konsekuensi.
Melalui disiplin positif diharapkan murid akan
mampu memahami perilaku mereka sendiri, mampu mengambil inisiatif, serta
bertanggung jawab atas pilihan mereka serta mampu menghargai diri mereka
sendiri serta orang lain. Dalam penerapannya, disiplin positif tentu saja
membutuhkan keterlibatan semua komponen sekolah termasuk orang tua di rumah,
agar perilaku disiplin berjalan dengan konsisten antara rumah dengan sekolah.
Sekolah dalam hal ini harus membekali orang tua dengan informasi tentang
bagaimana cara mempraktekan disiplin positif di rumah.
Pada saat penerapan budaya positif dalam
aktivitas belajar mengajar sehari-hari di kelas, seorang guru harus mampu
berperan sebagai manajer. Dimana dalam hal ini guru hendaknya mengajak murid untuk
membuat kesepakatan kelas. Kesepakatan kelas merupakan langkah awal dalam
membangun budaya positif di sekolah. Kesepakatan kelas diharapkan akan membantu
pembentukan budaya disiplin positif di kelas, yang kemudian akan berdampak juga
terhadap proses belajar mengajar yang menyenangkan bebas dari segala tekanan.
Kesepakatan kelas berisi beberapa aturan
untuk membantu guru dan murid bekerja bersama membentuk kegiatan belajar
mengajar yang efektif.
(Sumber : https://japanese.binus.ac.id)
Kesepakatan kelas berisikan
harapan-harapan baik dari guru ke murid maupun sebaliknya dari murid ke guru.
Dalam penyusunan kesepakatan kelas, guru berkolaborasi dengan murid. Satu hal
yang harus diperhatikan dalam penyusunan kesepakatan kelas adalah jangan
terlalu banyak membuat aturan-aturan. Hal ini akan membuat murid merasa
kesulitan bahkan kesepakatan kelas tersebut menjadi tidak bermakna sama sekali.
Cukup 4 - 8 aturan saja untuk setiap kelas. Kesepakatan harus disusun dengan
jelas sehingga murid dapat memahami perilaku apa yang diharapkan dari
mereka. Penggunaan kalimat positif menjadi hal yang wajib dalam
kesepakatan kelas, karena kalimat positif akan lebih mudah dipahami
dibandingkan kalimat negative, seperti penggunaan kata “dilarang” atau “tidak”
sebaiknya tidak dilakukan. Kesepakatan kelas yang telah disusun tentu saja
tidak mutlak berlaku untuk selamanya, tetapi perlu dilakukan evaluasi dan
refleksi secara berkala, misalnya setiap awal semester. Berikut ini contoh
kesepakatan kelas.
(Sumber : Dokumen Pribadi)
Setelah kesepakatan kelas, upaya yang dapat kita lakukan
dalam mewujudkan budaya positif di sekolah adalah mengembangkan visi sekolah.
Visi berisi harapan-harapan yang ingin dicapai sekolah. Melalui visi kita dapat
mengetahui langkah-langkah apa yang harus kita lakukan dan tujuan yang ingin
kita capai. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, melalui pendekatan Inkuiri
Apresiatif (IA) kita hendaknya memanfaatkan semua kekuatan yang dimiliki oleh
komponen sekolah dan berfokus pada hal-hal positif yang sudah berhasil
dikembangkan di sekolah.
Visi sekolah yang akan dikembangkan hendaknya mendukung
terciptanya lingkungan belajar yang ramah bagi semua pihak, baik itu murid,
guru, maupun orang tua. Semua pihak merasa salaing menghargai satu sama lain
dan para murid memiliki kebebasan untuk mengembangkan potensinya serta
kebebasan untuk menyampaikan pendapat maupun harapan-harapannya. Visi sekolah
juga hendaknya mendukung proses pembelajaran yang penuh dengan rasa saling
menghormati dan saling peduli satu sama lain. Serta memberikan kesempatan
kepada semua pihak untuk terlibat dalam setiap kebijakan yang ada di sekolah.
Penjelasan di atas menyadarkan kita bahwa untuk membangun
budaya positif membutuhkan
waktu yang tidak singkat, dibutuhkan konsistensi dan keterlibatan semua
komponen di sekolah untuk bahu membahu membangun budaya positif. Sebagai
seorang guru penggerak, kita harus mampu menjadikan budaya-budaya positif yang
sudah kita lakukan di kelas (melalui kesepakatan kelas) menjadi budaya positif
sekolah dan bahkan menjadi visi sekolah. Caranya tentu saja melalui aksi nyata
kita yang dapat menjadi teladan bagi guru yang lain dan melalui kemampuan kita
untuk mengajak semua komponen sekolah untuk berkolaborasi.
Semoga ikhtiar kita dalam mewujudkan budaya positif di
sekolah dapat berjalan seperti yang kita inginkan. Aamiin.,
Mantap
BalasHapus